Banda Aceh Kota Kerukunan, Gemilang Dalam Bingkai Syariah

BANDA ACEH – Alunan nada-nada piano terdengar begitu klasik. Dua wanita Ibu dan anak di ruang tamu terlihat sedang mendekorasi seluruh isi rumah. Sementara piano dimainkan oleh seorang anak lelaki berada di ruang depan.

Suara instrument di balik piano itu mengiringi aktifitas mereka di dalamnya. Sore itu, Minggu 24 Desember 2017 jarum jam mengarah pukul 17.00 WIB, Luspida Simanjuntak (45 tahun) bersama dua orang anaknya Benni Jyremi Siahaan (16 tahun) dan Joyi Marietha Siahaan (11 tahun) tampak sedang beres-beres merapikan seluruh ruangan menjelang perayaan Natal 2017.

Pohon Natal menjulang tinggi berada di sudut ruangan tamu, Joyi Marietha merapikan sisi kanan sementara Luspida dari arah bawah. Mereka berdua sedang menghiasi pohon natal dibalut warna-warni lampu serta pernak-pernik di setiap bagian pohon.

Natal kali ini ketiganya tidak dilengkapi dengan kehadiran sang Ayah. Pasalnya, Timbul Sihaan suami dari Luspida sedang berlayar mencari nafkah di tengah laut Singapura. Hampir setiap tahunnya mereka bertiga merayakan hari kebahagian itu tampa kehadiran sosok Ayah tercinta.

“Ia ada di tengah laut sedang berlayar jadi tidak bisa pulang merayakan Natal bersama-sama dengan kita. Delapan bulan sekali baru pulang,” kata Luspida.

Luspida Simanjuntak merupakan pendeta di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Kampung Mulia, Kuta ALam, Banda Aceh. Di gereja ini menampung sebanyak 211 kepala keluarga.

Perayaan Natal 2017, diikuti sebanyak 400 jemaat Kristen yang ada di Banda Aceh dan Aceh besar. “Kalau keseluruhan bersama anak mereka mencapai 500 tapi karena ada yang mudik pulang kampung merayakan natal bersama keluaraga,” ujar Lisda.

Keluarga Lisda sudah tiga tahun berada di Aceh sejak 2015 lalu hingga saat ini. Sebelumnya menetap di Jakarta selama hampir 12 tahun. Merayakan natal di Aceh baginya jauh berbeda dengan daerah lain. Natal di Aceh dinilai sangat aman dan damai sehingga bisa menjalankan ibadah secara khusyuk.

Rumah Lisda berada di perkarangan Gereja dikelilingi perumahan masyarakat yang mayoritas beragama Islam. Meski demikian ia mengaku tidak pernah merasakan gesekan atau gangguan selama beribadah. Hubungan dengan masyarakat sekililing gereja berlangsung dengan baik. Masyarakat menerima kehadiran mereka begitu juga sebaliknya.

“Menjalin komunikasi dengan baik bakan aparat desa ketika ada kegiatan kami selalu di undang. Nyaman-nyaman saja tidak ada gangguan. Masyarakat sekitar menerima kami dengan baik, banyak hal yang kudapatkan di sini” ucapnya.

Meski Aceh terkenal dengan syariat Islam, bagi Lisda dan seluruh para jemaat lainnya merasa sangat menikmati perayaan natal di Aceh. Lisda melihat toleransi umat beragama terjalin dengan kuat. Sebagai kalangan minoritas, yang namanya beribadah ia mengaku tidak pernah terganggu.

“Kesan merayakan natal di sini pokoknya enaklah tidak pernah terganggu bisa menikmati dengan nyaman. Para aparatur negara di sini saya lihat secara khusus mulai dari Polisi, TNI menyiapkan dirinya untuk kami supaya nyaman merayakan ibadah. Pokoknya sangat terjamin kami merayakan ibadah di sini aman,” jelasnya. (news.okezone.com)

Sharing ke Social Media :