Gambar Kota Banda Aceh dari laut oleh François Valentijn (1724-1726)

Jumat, 22 April 2022 merupakan hari bersejarah bagi Kota Banda Aceh, karena kota yang dijuluki “Seuramoe Mekkah” atau Serambi Mekah ini pada hari ini genap berusia 817 tahun.

Banda Aceh sebagai ibu kota Kesultanan Aceh Darussalam berdiri pada abad ke-14 yang dibangun di atas puing-puing kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha yang pernah ada sebelumnya, seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan Indrapura (Indrapuri).

Dari batu nisan Sultan Firman Syah, salah seorang sultan yang pernah memerintah Kesultanan Aceh, didapat keterangan bahwa Kesultanan Aceh beribukota di Kutaraja (Banda Aceh). (H. Mohammad Said a, 1981:157).

Kemunculan Kesultanan Aceh Darussalam yang beribukota di Banda Aceh tidak lepas dari eksistensi Kerajaan Islam  Lamuri.

Pada akhir abad ke-15, dengan terjalinnya suatu hubungan baik dengan kerajaan tetangganya, maka pusat singgasana Kerajaan Lamuri dipindahkan ke Meukuta Alam (Rusdi Sufi & Agus Budi Wibowo a, 2006:72-73). Lokasi istana Meukuta Alam berada di wilayah Banda Aceh.

Sultan Ali Mughayat Syah memerintah Kesultanan Aceh Darussalam yang beribukota di Banda Aceh, hanya selama 10 tahun.

Menurut prasasti yang ditemukan dari batu nisan Sultan Ali Mughayat Syah, pemimpin pertama Kesultanan Aceh Darussalam ini meninggal dunia pada 12 Dzulhijah Tahun 936 Hijriah atau bertepatan dengan tanggal 7 Agustus 1530 Masehi.

Kendati masa pemerintahan Sultan Mughayat Syah relatif singkat, namun ia berhasil membangun Banda Aceh sebagai pusat peradaban Islam di Asia Tenggara.

Pada masa ini, Banda Aceh telah berevolusi menjadi salah satu kota pusat pertahanan yang ikut mengamankan jalur perdagangan maritim dan lalu lintas jemaah haji dari perompakan yang dilakukan armada Portugis.

Pada masa Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh tumbuh kembali sebagai pusat perdagangan maritim, khususnya komoditas lada yang permintaannya sangat tinggi di Eropa.

Iskandar Muda menjadikan Banda Aceh sebagai taman dunia, yang dimulai dari komplek istana.

Komplek Istana Kesultanan Aceh dinamai Darud Dunya (Taman Dunia).

Pada masa agresi Belanda yang kedua, terjadi evakuasi besar-besaran pasukan Aceh keluar dari Banda Aceh.

Situasi ini dirayakan oleh Van Swieten yang memproklamirkan jatuhnya Kesultanan Aceh, ia mengubah nama Banda Aceh menjadi Kutaraja.

Setelah masuk dalam pengakuan Pemerintah Republik indonesia, pada 28 Desember 1962 nama kota ini kembali menjadi Banda Aceh, berdasarkan Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah bertanggal 9 Mei 1963 No. Des 52/1/43-43.

Pada tanggal 26 Desember 2014, kota ini dilanda gelombang pasang tsunami yang diakibatkan oleh gempa 9,2 Skala Richter di Samudera Hindia.

Bencana ini menelan ratusan ribu jiwa penduduk dan menghancurkan lebih dari 60% bangunan kota ini.

Saat ini, Kota Banda Aceh di bawah Kepemimpinan Aminullah Usman dan Zainal Arifin selaku Wali Kota dan Wakil Wali Kota Banda Aceh periode 2017-2022, dengan mengusung Visi “Banda Aceh Gemilang Dalam Bingkai Syariat”, dan memprioritaskan pembangunan di bidang Agama, Ekonomi dan Pendidikan, telah banyak menuai apresiasi dan mengukir prestasi dari berbagai pihak.

Prestasi demi prestasi tersebut dapat dilihat pada laman resmi Pemerintah Kota Banda Aceh https://bandaacehkota.go.id/ (Sri)

Gambar Mesjid Raya Baiturrahman pada malam hari

Sharing ke Social Media :